SEJARAH BANTEN LAMA
MATAHARI sudah condong
jauh ke barat, tetapi udara panas nan terik masih meruap di kawasan Pelabuhan
Karangantu, Banten Lama, Provinsi Banten. Walau demikian, hal itu tak
menghentikan kesibukan para nelayan menyiapkan jaring dan pancing. Sebagian
lagi memanfaatkan waktu untuk beristirahat, menyandarkan badan di dinding
perahu beratap terpal, menunggu datangnya malam.
Pelabuhan Karangantu ini ternyata punya sepenggal cerita
sejarah yang membanggakan. Selain karena tak ada lagi jejak peninggalan yang
bisa dilihat langsung, pelabuhan itu kini benar-benar berubah jadi perkampungan
nelayan kumuh. Sampah berserakan di jalan-jalan dan lumpur sungai yang sudah
lama dikeruk, menumpuk di tepi dermaga.
Di museum ini, tersimpan rapi beberapa benda seperti guci
dan porselen dari China, Jepang, dan Belanda. Pengamat sejarah Banten, Lukman
Hakim, mengatakan, Banten berkembang pesat jadi kota pelabuhan dan kota
perdagangan pada era Sultan Maulana Hasanudin.
Pada era kepemimpinannya, pusat pemerintahan dipindahkan
dari bagian hulu ke hilir Sungai Cibanten dengan maksud memudahkan hubungan
dagang dengan pesisir Sumatera melalui Selat Sunda. Rupanya Banten pada masa
itu sudah pandai membaca situasi politik dan perdagangan di Asia Tenggara.
Saat itu, pedagang dari mancanegara risau karena Malaka
jatuh ke tangan Portugis. Karena pedagang Muslim yang tengah bermusuhan dengan
Portugis enggan berhubungan dagang dengan Malaka, maka para pedagang yang
berasal dari Arab, Persia, dan Gujarat, mengalihkan jalur perdagangan ke Selat
Sunda. Mereka singgah di Karangantu.
Sejak itu, pengaruh kesultanan Banten mulai pudar. Banten
Lama semakin ditinggalkan setelah pusat pemerintahan dipindah ke Serang.
Pelabuhan Karangantu tak lagi dilirik karena kondisi lingkungan akibat
pengendapan lumpur tak memungkinkan kapal singgah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar