Sabtu, 09 Januari 2016

Makalah anak tunaganda

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Menurut Magunsong, dkk. (1998), anak tunaganda atau majemuk adalah anak yang menderita kombinasi atau gabungan dari dua atau lebih kelainan atau kecacatan dalam segi fisik, mental, emosi,dan sosial, sehingga memerlukan pelayanan pendidikan, psikologis, medis, sosial, vokasional melebihi pelayanan yang sudah tersedia bagi anak yang berkelainan tunggal
Sesuai dengan makna istilah tunaganda kelompok penyandang keluarbiasaan jenis ini adalah mereka yang menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaaan misalnya, penyandang tunanetra dan tunarungu sekaligus, penyandang tunadaksa disertai tunagrahita atau bahkan tunadaksa, tunarungu dan tunagrahita sekaligus tentu dapat dibayangkan betapa besarnya keluarbiasaan yang disandang, yang tentu saja berdampak pada kompleksnya layanan pendidikan yang seyogyanya disiapkan. Oleh karena kondisi tunaganda yang seperti itu, kemungkinan mereka berada di SD biasa tentu sangat kecil. Namun, sebagai guru, pengetahuan anda tenta anak tunaganda memperluas wawasan anda tentang keluarbiasaan. Sekolah luar biasa untuk penyandang tunaganda disebut sebagai SLB-G.

1.2    Rumusan Masalah
1.   Apa  pengertian dari tunaganda ?
2.   Apa pengertian dan karakteristik dari tunagrahita ?
3.   Apa pengertian dan klasifikasi dari tunarungu ?

1.3    Tujuan
1.   Untuk mengetahui pengertian tunaganda.
2.   Untuk mengetahui pengertian dan karakteristik dari anak tunagrahita.
3.   Untuk mengetahui pengertian dan klasifikasi dari anak tunarungu.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Tunaganda dan Dampaknya
Sesuai dengan makna istilah tuna ganda kelompok penyandang keluarbiasaan jenis ini adalah mereka yang menyandang lebih dari satu jenis keluarbiasaaan misalnya, penyandang tunanetra dan tunarungu sekaligus, penyandang tunadaksa disertai tunagrahita atau bahkan tunadaksa, tunarungu dan tunagrahita sekaligus tentu dapat dibayangkan betapa besarnya keluarbiasaan yang disandang, yang tentu saja berdampak pada kompleksnya layanan pendidikan yang seyogyanya disiapkan.
1.   Dampak keluarbiasaan bagi anak bagi ALB
Dampak bagi anak tunaganda, dampak ini merupakan gabungan dari keluarbiasaan lebih dari satu aspek. Seperti dampak tunarungu akan mendapat hambatan dalam berkomunikasi ditambah anak turagrahita akan dalam banyak hal termasuk dalam megembangkan keterampilan hidup sehari-hari atau menolong diri sendiri.
2.   Dampak keluarbiasaan bagi keluarga
Ada orang tua yang sangat pasrah menerima kenyataan yang dihadapi , namun tidak jarang yang merasa sangat terpukul, dan tentu saja ada yang sangat tidak peduli. Reaksi/ sikap keluarga terhadap keuarbiasaan yang menimpa salah satu anggota keluarga dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya, tingkat pendidikan latar belakang budaya, status sosial ekonomi keluarga, dan tingkat keluarbiasaanya.
3.   Dampak keluarbiasaan bagi masyarakat
Sikap masyarakat mungkin sangat bervariasi tergantung dari latar belakang sosial budaya dan pendidikan. Ada masyarakat yang bersimpati bahkan ikut membantu menyediakan berbagai fasilitas, ada yang bersikap acuh tak acuh, bahkan tidak jaang ada yang bersikap antipasti sehingga melarang anaknya bergaul attau berteman dengan ALB (terutama yang dibawah normal)


2.2 Anak Tunagrahita
Istilah untuk anak tunagrahita bervariasi, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama: lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan tunagrahita.
Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Mentally Handicaped, Mentally Retardid. Anak tunagrahita adalah bagian dari anak luar biasa. Anak luar biasa yaitu anak yang mempunyai kekurangan, keterbatasan dari anak normal. Sedemikian rupa dari segi: fisik, intelektual, sosial, emosi dan atau gabungan dari hal-hal tadi, sehingga mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya secara optimal.
Jadi anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kekurangan atau keterbatasan dari segi mental intelektualnya, dibawah rata-rata normal, sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun sosial, dan karena memerlukan layanan pendidikan khusus.
  
A. Klasifikasi Anak Tunagrahita
Potensi dan kemampuan setiap anak berbeda-beda demikian juga dengan anak tunagrahita, maka untuk kepentingan pendidikannya, pengelompokkan anak tunagrahita sangat diperlukan. Pengelompokkan itu berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu anak tungrahita dapat dikelompokkan.
1.     Tunagrahita Ringan (Debil)
Anak tunagrahita ringan pada umumnya tampang atau kondisi fisiknya tidak berbeda dengan anak normal lainnya, mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70. Mereka juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak tunagrahita ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.
2.     Tunagrahita Sedang atau Imbesil
Anak tunagrahita sedang termasuk kelompok latih. Tampang atau kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak tunagrahita yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat ke;las II SD Umum.
3.     Tunagrahita Berat atau Idiot
Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak tunagrahita berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 kebawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.

B. Sebab-Sebab Ketunaan
Menurut penyelidikan para ahli (tunagrahita) dapat terjadi:
-        Prenatal (sebelum lahir)
Yaitu terjadi pada waktu bayi masih ada dalam kandungan, penyebabnya seperti : campak, diabetes, cacar, virus tokso, juga ibu hamil yang kekurangan gizi, pemakai obat-obatan (naza) dan juga perokok berat.
-        Natal (waktu lahir)
Proses melahirkan yang sudah, terlalu lama, dapat mengakibatkan kekurangan oksigen pada bayi, juga tulang panggul ibu yang terlalu kecil. Dapat menyebabkan otak terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak (anoxia), juga proses melahirkan yang menggunakan alat bantu (penjepit, tang).
-        Pos Natal (sesudah lahir)
Pertumbuhan bayi yang kurang baik seperti gizi buruk, busung lapar, demam tinggi yang disertai kejang-kejang, kecelakaan, radang selaput otak (meningitis) dapat menyebabkan seorang anak menjadi ketunaan (tunagrahita).

C. Karakteristik Anak Tunagrahita
Karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita dapat dilihat dari segi :
Fisik (Penampilan)
Ø  Hampir sama dengan anak normal
Ø  Kematangan motorik lambat
Ø  Koordinasi gerak kurang
Ø  Anak tunagrahita berat dapat kelihatan
Intelektual
Ø  Sulit mempelajari hal-hal akademik.
Ø  Anak tunagrahita ringan, kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 12 tahun dengan IQ antara 50 – 70.
Ø  Anak tunagrahita sedang kemampuan belajarnya paling tinggi setaraf anak normal usia 7, 8 tahun IQ antara 30 – 50
Ø  Anak tunagrahita berat kemampuan belajarnya setaraf anak normal usia 3 – 4 tahun, dengan IQ 30 ke bawah.

Sosial dan Emosi
Ø  Bergaul dengan anak yang lebih muda.
Ø  Suka menyendiri
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Kurang dinamis
Ø  Kurang pertimbangan/kontrol diri
Ø  Kurang konsentrasi
Ø  Mudah dipengaruhi
Ø  Tidak dapat memimpin dirinya maupun orang lain.

D. Pendidikan Anak Tunagrahita
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pengajaran. Demikian halnya dengan anak tunagrahita berhak untuk mendapatkan pendidikan. Sekolah-sekolah untuk melayani pendidikan anak luarbiasa (tunagrahita) yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah berkebutuhan khusus.
Sekolah Luar Biasa untuk anak tunagrahita dibedakan menjadi :
SLB – C untuk Tunagrahita ringan
SLB – C1 untuk Tunagrahita sedang
Untuk Tunagrahita berat biasanya berbentuk panti plus asramanya.

E. Jenis layanan bagi annak tunagrahita
  1. Tempat dan system layanan
Tempat pendidikan anak tunagrahita dikelompokkan sebagai berikut
a.      Tempat khusus atau system segregasi
1.     Sekolah khusus
Sekolah khusus untuk anak  tunagarhita disebut sekolah luar biasa C (SLB-C) dan sekolah pendidikan luar biasa C ( SPLB-C). Murid yang ditampung ditempat ini khusus satu jenis kelainan atau ada juga khusus melihat berat dan ringannya kelianan, seperti sekolah untuk tunagrahita ringan.
2.     Sekolah dasar luar biasa (SDLB )
Berbeda dengan SDLB yang ada dilingkup SLB. SDLB disini berdiri sendiri dan hanya menampung anak tunagrahita usia sekolah dasar.
3.     Kelas jauh
Kelas jauh adalah kelas yang dibentuk jauh dari sekolah induk karena di daerah tesebut banyak anak luar biasa
4.     Guru kunjung
Diantara anak tunagrahita terdapat yang mengalami kealianan berat sehingga tidak memungkinkan untuk berkununjung kesekolah khusus.
5.     Lembaga perawatan ( institusi khusus )
Disediakan khusus anak tunagrahita yang tergolong berat dan sangat berat.
b.     Disekolah umum dengan system itegrasi ( terpadu )
1.     Dikelas biasa tanpa  kekhususan baik bahan pelajaran maupun guru
2.     Dikelas biasa dengan guru konsultan.
3.     Dikelas biasa dengan guru kunjung.
4.     Dikelas biasa dengan ruang sumber.
5.     Dikelas khusus sebagian waktu
6.     Kelas khusus.
2. Strategi dan media
a. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak tunagrahita:
1. Strategi pengajaran yang individualisasikan
    Pengajaran individualisasikan diberikan kepada setiap murid meskipun mereka belajar bersama dengan bidang studi yang sama tetapi pedalaman dan keluasan materi pelajaran disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan anak.
2. Strategi kooperatif
     Strategi ini bertitik tolak pada semangat kerja dimana mereka yang lebih pandai membantu temannya yang lemah (mengalami kesulitan) dalam suasana dalam kekeluargaan dan keakraban.
3. Strategi modifikasi tingkah laku
   Strategi ini digunakan apabila menghadapi anak tunagrahita sedang, kebawah atau anak tunagrahita dengan gangguan lain. Tujuan strategi ini adalah mengubah, menghilangkan atau mengurangi tingkah laku yang tidak baik ke tingkah laku yang baik.
b. Media 
      Alat-alat khusus yang digunakan untuk media pembelajaran anak tunagrahita diantaranya latihan kematangan, motorik berupa form board puzzle, latihan kematangan indera seperti latihan perabaan, penciuman; alat-alat untuk ngurus diri sendiri seperti latihan memasang kancing memasang resleting, alat konsentrasi seperti papan keseimbangan, alat latihan membaca berhitung dan lain-lain.
3. Evaluasi
         Berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan khusus dalam melaksanakan evaluasi belajar anak tunagrahita.
a.        Waktu mengadakan evaluasi
Evaluasi belajar anak tunagrahita tidak saja dilakukan pada saat kegiatan belajar mengajar berakhir atau pada waktu yang telah ditetapkan, tetapi tidak kalah pentingnya evaluasi selama proses belajar berlangsung.
b.        Alat evaluasi
Sama halnya dengan alat evaluasi yang digunakan pada pendidikan anak normal maka alat evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil belajar anak tunagrahita tidak berbeda.
c.      Kriteria keberhasilan
Keberhasilan belajar anak tunagrahita agar tidak dibandingkan dengan teman sekelasnya tapi dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh anak itu sendiri dari waktu ke waktu.
d.     Pencatatan hasil evaluasi
Pencatatan evaluasi yang digunakan untuk anak tunagrahita menggunakan bentuk kuantitatif ditambah dengan kualitatif.

2.3 Pengertian Dan Klasifikasi Tunarungu
Pengertian anak tunarungu Anak tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya, sehingga mengalami Gangguan berkomunikasi secara verbal. Secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak-anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunaruguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau bahkan tidak berbicara sama sekali, mereka berisyarat.
Tuna Rungu adalah anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal dan walaupun telah diberikan pertolongan dengan alat bantu dengar masih tetap memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu mendengar. Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada 35 dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar. Heward & Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut : Tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang untuk menerima rangsangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kondisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima, baik tanpa maupun dengan alat bantu mendengar. Kurang dengar (hard of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupun kurang mendengar dikatakan sebagai ganggunan pendengaran (hearing impaired). Dari berbagai batasan yang dikemukakan oleh beberapa pakar ketunarunguan, maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan pendengaran yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun telah diberikan alat bantu mendengar tetap memerlukan pelayanan khsusus.

A. Karakteristik Tunarungu
Secara fisik anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, sebab orang akan mengetahui bahwa anak menyandang ketunarunguan pada saat berbicara, mereka berbicara tanpa suara atau dengan suara yang kurang atau tidak jelas artikulasinya, atau tidak berbicara sama sekali, mereka hanya menggunakan isyarat. Dari ketidakmampuan anak tunarungu berbicara, muncul pendapat umum yang berkembang, bahwa anak tunarungu ialah anak yang hanya tidak mampu mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi secara lisan dengan orang dengar. Karena pendapat itulah ketunarunguan dianggap ketunaan yang paling ringan dan kurang menggundang simpati. Batasan ketunarunguan tidak saja terbatas pada kehilangan pendengaran yang sangat berat, melainkan mencakup seluruh tingkat kehilangan pendengaran dari tingkat ringan, sedang, berat sampai sangat berat.
Menurut Moores, definisi ketunarunguaan ada dua kelompok. Pertama, seorang dikatakan tuli (deaf) apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB Iso atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik dengan ataupun tanpa alat bantu dengar. Kedua, seseorang dikatakan kurang dengar (hard of hearing) bila kehilangan pendengaran pada dB Iso sehingga ia mengalami kesulitan untuk memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya baik tanpa maupun dengan alat bantu dengar. Heward dan Orlansky memberikan batasan ketunarunguan sebagai berikut:  tuli (deaf) diartikan sebagai kerusakan yang menghambat seseorang yang menerima ransangan semua jenis bunyi dan sebagai suatu kodisi dimana suara-suara yang dapat dipahami, termasuk suara pembicaraan tidak mempunyai arti dan maksud-maksud dalam  kehidupan sehari-hari. Orang tuli tidak dapat menggunakan pendengarannya untuk dapat mengartikan pembicaraan, walaupun sebagian pembicaraan dapat diterima, baik tanpa ataupun dengan alat bantu dengar.
Kurang dengar (hear of hearing) adalah seseorang kehilangan pendengarannya secara nyata yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian khusus, baik tuli maupau kurang mendengar dikatakan sebagai gangguan pendengaran (hearing impaired).
Dari batasan yang dikemukakan oleh pakar ketunarunguaan, maka dapat disimpulkan bahwa ketunarunguaan adalah suatu keadaan atau derajat kehilangan yang meliputi seluruh gradasi ringan, sedang dan sangat berat yang dalam hal ini dikelompokkan kedalam dua golongan besar yaitu tuli (lebih dari 90 dB) dan kurang dengar (kurang dari 90 dB), yang walaupun telah diberikan alat bantu dengar tetap memerlukan palayanan khusus.
Dari definisi diatas dapat dijabarkan karakteristik anak tunarungu atau anak dengan hendaya pendengaran sebagai berikut:
1)  Tidak mampu mendengar.
2)  Terlambat dalam perkembangan bahasa.
3)  Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi.
4)  Kurang atau tidak tanggap dalam berbicara atau diajak berbicara.
5)  Ucapan kata yang tidak jelas.
6)  Kualitas suara yang dikeluarkan aneh atau monoton.
7)  Sering memiringkan kepala dalm usaha mendengar.
8)  Banyak perhatian terhadap getaran.
9)  Keluar nanah dari kedua telinga.
10) Terdapat kelainan organis telinga.

Kognisi anak tunarungu antara lain adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan verbal (verbal IQ) anak tunarungu lebih rendah dibandingkan kemampuan verbal anak mendengar.
2) Namun performance IQ anak tunarungu sama dengan anak mendengar.
3) Daya ingat jangka pendek anak tunarungu lebih rendah dari pada anak mendengar terutama pada informasi yang bersifat suksesif/berurutan.
4) Namun pada informasi serempak antara anak tunarungu dan anak mendengar tidak ada perbedaan.
5) Daya ingat jangka panjang hampir tak ada perbedaan, walaupun prestasi akhir biasanya tetap lebih rendah

B. Klasifikasi Tunarungu
Ketunarunguan dapat diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu tingkat kehilangan pendengaran, saat terjadinya ketunarunguan, letak gangguan pendengaran secara anatomis dan etiologi.
1.     Berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran yang diperoleh melalui tes dengan menggunakan audiometer, ketunarunguan dapat diklasifikasikan sbg berikut.
a.      Tunarungu ringan
Siswa yang tergolong tunarungu ringan mengalami kehilangan pendengaran antara 27-40 dB. Ia sulit mendengar suara yang jauh sehingga membutuhkan tempat duduk yang letaknya strategis.
b.     Tunarungu sedang
Siswa yang tergolong tunarungu sedang mengalami kehilangan pendengaran antara 41-55 dB. Ia dapat mengerti percakapan dari jarak 3-5 feet secara berhadapan (face to face), tetapi tidak dapat mengikuti diskusi kelas. Ia membutuhkan alat bantu dengar serta terapi bicara.
c.      Tunarungu agak berat (moderately severe hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu agak berat mengalami kehilangan pendengaran antara 56-70 dB. Ia hanya dapt mendengar suara dari jarak dekat sehingga ia perlu menggunakan hearing aid. Kepada siswa tersebut perlu diberikan latihanpendengaran serta latihan untuk mengembangkankemampuan bicara dan bahasanya.
d.     Tunarungu berat (severe hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarugu berat mengalami kehilangan pendengaran antara 71-90 dB. Sehingga ia hanya dapat mendengar suara-suara yng keras dari jarak dekat. Siswa tersebut membutuhkan pendidikan khusus secara intensif, alat bantu dengar, serta latihan untuk mengembangkan kemampuan bicara dan bahasanya.
e.      Tunarungu berat sekali (profound hearing loss)
Siswa yang tergolong tunarungu berat sekali mengalami kehilangan pendengaran lebih dari 90 dB. Mungkin ia masih mendengar suara yang keras, tetapi ia lebih menyadari suara melalui getarannya (vibrations) dari pada melalui pola suara. Ia juuga lebih mengandalkan peglihatannya dari pada pendengarannya dalam berkomunikasi, yaitu melalui penggunaaan bahasa isyarat dan membaca ujran.        
C. Penyebab terjadinya Tunarungu
         1. Penyebab terjdinya tunarungu tipe konduktif
a. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga luar yang dapat disebabkan, antara lain oleh hal-hal berikut:
                   1. Tidak terbentuknya lubang telinga bagian luar (traesia  meaus akustikus externus)
                   2. Terjadinya peradangan pada lubang telinga luar (otitis externa)
  b. Kerusakan/gangguan yang terjadi pada telinga tengah, yang dapat disebabkan antara lain oleh hal-hal berikut :
1. Ruda paksa, yaitu adanya tekanan/benturan yang keras pada telinga seperti karena jatuh, tabrakan, tertusuk yang mengakibatkan perforasi membrane timpani (pecahnya selaput gendang dengar) dan lepasnya rangkaian tulang pendengaran.
2. Terjadinya peradangan / infeksi pada telinga tengah 9otitis media)
3. Otosclerosis, yaitu terjaadinya pertumbuhan tulangpada kaki tulang stapes, yang mengakibatkan tulang tersebut tidak dapat  diteruskan ketelinga sebagai mana mestinya.
4. Tympanisclerosis, yaitu adanya lapisan kalsium atau zat kapur pada gendang dengar (membran timfani) dan tulang pendengaran sehingga organ tersebut tidak dapat mengantarkan getaran ke telinga dalam dengan baik untuk di ubah menjadi kesan suara. Gangguan ini biasanya terjadi pada orang yang sudah lanjut usia.
5. Anomaly congenitaldari dari tulang pendengaran atau tidak terbentuknya tulang pendengaran yang dibawa sejak lahir tetapi gangguan pendengarannya tidak bersifat progresif.
6. Difsungsi tuba eustachius (saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan rongga mulut), akibat alergi atau tumor pada nasopharynx.
2. Penyebab terjadinya tunarungu tipe sensorineural
Tunarungu tipe sensorineural, dapat disebabkan oleh faktor genetic (keturunan) dan nongenetik. Kedua faktor tersebut dapat dijelaskan sbg berikut.
a.      Ketunarunguan disebabkan oleh faktor genetic (keturunan), maksudnya bahwa ketunarunguan tersebut disebabkan oleh gen ketunarunguan yang menurun dari orang tua kepada anaknya.
b.     Penyebab ketunarunguan faktor nongenetik, antara lain sbg berikut:
1.     Rubella campak jerman, yaitu penyakit yang disebabkan oleh virus yang sering berbahaya dan sulit didiagnosis secara klinis.
2.     Ketidaksesuaian antara darah ibu dan anak
3.     Meningitis yaitu radang selaput otak yang disebabkan oleh bakteri yang menyerang labyrinth (telinga dalam) melalui system sel-sel udara pada telinga tengah.
4.     Trauma akustik, yang disebabkan oleh adanya suara bising dalam waktu yang lama (misalnya suara mesin di pabrik).

      D. Layanan Bagi Anak Tunarungu
            1. Jenis Layanan
            a. Layanan umum
                        Layanan umum mrupakan layanan pendidikan yang biasa diberikan kepada anak mendengar atau normal yang meliputi layanan akademik, latihan dan bimbingan.
  b. Layanan khusus
1.    Layanan bina bicara
     Layanan bina bicara merupakan upaya untuk meningkatkan kemempuan anak tunarungu dalam mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dalam rangkaian kata, agar dapat dimengerti atau diintervretasikan oleh orang yang mengajak atau diajak bicara. 
2.        Layanan bina persepsi bunyi dan irama
        Layanan bina persepsi bunyi dan irama merupakan layanan untuk melatih kepekaan terhadap bunyi dan irama melalui sisa pendengaran atau merasakan vibrasi (getaran bunyi) bagi siswa yang hanya memiliki sedikit sekali sisa pendengaran.

2. Tempat/system layanan
a.      Tempat khusus/system segregasi
1.     Sekolah khusus
Sekolah khusus bagi anak tunarungu disebut sekolh luar biasa bagian b atau (SLB-B).
2.     Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB adalah sekolah pada tingkat dasar yang menampung berbagai jenis kelainan.
3.     Kelas jauh atau kelas kunjung
Kelas jauh adalah kelas yang dibentuk atau yng disediakan untuk memberi layanan pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak tunarungu yang bertempat tinggal jauh dari SLB-B/SDLB.
b.     Disekolah umum/integrasi
1.     Bentuk kelas biasa.
2.     Bentuk kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus.
3.     Bentuk kelas khusus.

3. Metode Komunikasi
     a. Metode oral adalah metode komunikasi dengn cara yang lazim digunakan oleh orang mendengar, yaitu melalui bahasa lisan.
b. Metode membaca wejaran, dapat dikatakan sebagai intervretasi visual terhadap si pembicara.
c. Metode manual (syarat) yaitu metode komunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat dan ejaan jari (finger spending).
d. Komunikasi total merupakan suatu falsafah yang memungkinkan terciptnya iklim komunikasi yang harmonis dengan menerapkan berbagai metode dan media komunikasi.

4. Strategi dan media pembelajaran
a. Strategi pembelajaran
1. Strategi individualisasi
2. Strategi kooperatif
3. Strategi modifikasi
b. Media pembelajaran
    1. Media visual yang dapat dipergunakan dalam pembelajaran anak tunarungu, antara lain berupa gambar, grafis (grafik, bagan, diagram, dsb). Realita atau objek nyata dari suatu benda (mata uang, tumbuhan dll).
2. Media Audio, seperti program kaset suara yang dapat dipergunakan dalam latihan pendengaran.
                     3. Media Audio-visual seperti program video atau televisi instruksional.

5. Evaluasi  
a. Berkesinambungan
b. Menyeluruh
c. Objektif
d. Pedagogis





BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini di landasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat di pisahkan suatu komunitas meskipun idealnya dalam sebuah institusi sekolah yang menggunakan konsep pendidikan ingklusi seharusnya dari beberapa jenis anak berkebutuhan di atas bisa di tangani atau di beri pelayanan seluruhnya namun dalam makalah ini akan lebih di titik beratkan terhadap pemberian pelayanan pendidikan yang baik bagi anak tunagrahita di sekolah inklusi hari ini di sebut dapat di lakukan melalui modivikasi beberapa jenis model pembelajaran yang bisa di terapkan di sekolah inklusi.




DAFTAR PUSTAKA

Wardani I.G.A.K, dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas Terbuka



Tidak ada komentar:

Posting Komentar