Kode Etik Profesi Keguruan
1. Pengertian Kode Etik Profesi
Kode
Etik merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang
dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap profesional.
Memperbincangkan profesi tanpa mengkaitkannya dengan persoalan etika bisa
diibaratkan sebagai memperbincangkan pergaulan lelaki-perempuan tanpa
mengkaitkannya dengan nilai moral sebuah perkawinan; atau memperbincangkan
hubungan orang-tua (ayah/ibu) dengan anak-anak kandungnya tanpa mengindahkan
nilai etika kesantunan, norma adat istiadat serta ajaran agama yang telah
mengaturnya. Segala macam bentuk pelanggaran serta penyimpangan terhadap
tata-pergaulan tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral (amoral),
tidak etis dan lebih kasar lagi bisa dikatakan sebagai tindakan yang tidak
beradab alias biadab. Istilah etik dan moral merupakan istilah-istilah yang
bersifat mampu dipertukarkan satu dengan yang lain. Keduanya memiliki konotasi
yang sama yaitu sebuah pengertian tentang salah dan benar , atau buruk dan
baik. Dasar untuk menggambarkan perilaku yang menjunjung tinggi nilai etika dan
moral bisa dinyatakan dalam pernyataan “do unto others as you would have them
do unto you” (Bennett, 1996).
Pernyataan
ini harus dipahami sebagai nilai-nilai tradisional yang meskipun terkesan
sangat konservatif karena mengandung unsur nilai kejujuran (honesty),
integritas dan konsern dengan hak serta kebutuhan orang lain; tetapi sangat
tepat untuk dijadikan sebagai “juklak-juknis” didalam menilai dan
mempertimbangkan persoalan etika profesi yang terkait dalam proses pengambilan
keputusan profesional.
2. Sikap terhadap anak didik
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik
(mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian :
proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan,
cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya
untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan
kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam
dan masyarakatnya.
Sebuah
istilah yang menjadi slogan guru sebagai cerminan bagi anak didik ” guru
kencing berdiri murid kencing berlari, memberikan pesan moral kepada guru agar
bertindak dengan penuh pertimbangan. Ketika guru menanamkan nilai dan contoh
karakter dan sifat yang tidak baik, maka jangan salahkan murid ketika
berprilaku lebih dari apa yang guru lakukan. Seperti kelakuan bejat guru ketika
membocorkan jawaban Ujian Nasional sebagai upaya menolong kelulusan anak
didiknya. Memang murid pada saat itu senang, karena mendapatkan jawaban untuk
mempermudah mereka lulus. Akan tetapi, saat itu juga guru telah menanamkan
ketidakpercayaan murid terhadap guru. Dan pada saatnya nanti, mereka akan jauh
berbuat lebih bejat lagi ketimbang saat ini yang guru mereka lakukan.
Dalam
mendidik, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat serta mau
memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Semua kendala yang terjadi
dan dapat menjadi penghambat proses pendidikan baik yang berpangkal dari
perilaku anak didik maupun yang bersumber dari luar diri anak didik harus dapat
dihilangkan bukan dibiarkan. Keberhasilan dalam pendidikan lebih banyak
sitentukan oleh guru dalam mengelola kelas. Dalam mengajar, guru harus pandai
menggunakan pedekatan secara arif dsan bijaksana bukan sembarangan yang bisa
merugikan anak didik.
Kalau
dalam pengajaran yang diwarnai proses kekerasan sistemnya adalah satu arah,
yaitu murid hanya menerima apa yang dikatakan oleh guru, maka dalam proses yang
membebaskan/pengajaran yang membebaskan terjadi dalam dua arah. Guru belajar
dari murid dan murid juga belajar dari guru. Guru dan murid adalah teman
seperjalanan mencari yang benar, bernilai dan sahih (dapat dipertanggung
jawabkan) dan yang saling memberikan kesempatan untuk berperan satu terhadap
yang lain. Guru tidak perlu takut kalau murid lebih mengerti daripada dirinya
dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan, karena justru dengan demikian
mereka telah membebaskan murid dari perasaan takut dan memberikan kepada murid
kebebasan untuk berkembang.
3. Sikap terhadap Pekerjaan
Mengingat peranan strategis guru
dalam setiap upaya peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan, maka
peningkatan profesionalisme guru merupakan kebutuhan. Benar bahwa mutu
pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan
(siswa), sarana manajemen, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Akan tetapi
seberapa banyak siswa mengalami kemajuan dalam belajarnya, banyak tergantung
kepada kepiawaian guru dalam membelajarkan siswa.
Apa yang dimaksud dengan guru
profesional paling tidak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.
mempunyai
komitmen pada proses belajar siswa;
2.
menguasai
secara mendalam materi pelajaran dan cara mengajarkannya;
3.
mampu
berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari
pengalamannya;
4.
merupakan
bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya yang memungkinkan
mereka untuk selalu meningkatkan profesionalismenya.
Namun
realitas menunjukkan bahwa kualitas guru belum sebagaimana yang diharapkan.
Berbagai usaha yang serius dan sungguh-sungguh serta terencana harus secara
terus menerus dilakukan dalam pengembangan kualitas guru. Sertifikasi guru,
merupakan kebijakan yang sangat strategis, karena langkah dan tujuan melakukan
sertifikasi guru untuk meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat
harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk meningkatkan
kualitas pendidiakan di Indonesia. Sikap yang harus dibangun para guru dalam
kompetensi dan sertifikasi ini adalah profesionalisme, kualitas, mengenal dan
menekuni profesi keguruan, meningkatkan kualitas keguruan, mau belajar dengan
meluangkan waktu untuk menjadi guru, kerasan dan bangga atas keguruannya adalah
langkah untuk menjadi guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk
mendapatkan sertifikasi keguruan.
Sertifikasi
guru merupakan proses yang dapat mengangkat harkat dan wibawa guru. Namun,
sertifikasi guru jangan sampai dipandang sebagai satu-satunya jalan yang
menjamin kualitas guru. Sangat tidak tepat apabila pemerintah memaksakan
program ini menjadi program yang ”instan”, sementara lingkungan kerja guru
tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensi. Jika program ini dipaksakan
secara ”instan”, maka sulit diharapkan sebuah perubahan yang signifikan akan
terjadi pada wajah pendidikan di Indonesia.
Hal
yang penting adalah membangun ”kesadaran” dan ”budaya” bahwa guru adalah ”ujung
tombak”, memiliki peran yang besar, merupakan faktor penting dan strategis
dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, yang didukung dengan kesejahteraan
guru yang layak dan memadai, sehingga mau tidak mau, senang tidak senang, guru
harus meningkat diri dengan profesi yang ditekuninya. Dengan demikian, kata
kuncinya semua kebijakan yang dilakukan untuk meningkat kualitas, kompetensi
dan sertifikasi guru adalah ”by proses” dan bukan ”instan.
Sebagai
sebuah profesi, guru memang sudah selayaknya bersertifikat pendidik. Dengan
diperolehnya sertifikat pendidik, maka seorang guru berhak memperoleh tunjangan
profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Diharapkan dengan
meningkatkan kesejahteraan guru ini akan diimbangi dengan peningkatan kinerja
guru. Sebab para guru akan lebih terfokus pada tugas keprofesionalannya di
satuan pendidikan/sekolahnya masing-masing dan tidak lagi menjadi “guru luar
biasa” (biasa di luar).
Meskipun
pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar SH MH
menyatakan, bahwa pemberian sertifikasi bagi guru tak menjamin peningkatan mutu
pendidikan nasional karena sertifikasi guru cederung pendekatan formalistis dan
tidak menyentuh substansi masalah pendidikan di Indonesia (Republika Online,
Jum`at, 16 Maret 2007, 16:27:00), tetapi paling tidak upaya pemerintah ini
mampu menjadi semacam “penawar dahaga di kala haus” atau “setitik cahaya di
tengah kegelapan”. Artinya, merupakan sebuah angin segar perubahan guna
mengangkat citra, harkat dan martabat guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar