Jumat, 08 Januari 2016

Kode Etik Profesi Keguruan

Kode Etik Profesi Keguruan
1.     Pengertian Kode Etik Profesi
Kode Etik merupakan landasan moral dan pedoman tingkah laku profesional yang dijunjung tinggi, diamalkan dan diamankan oleh setiap profesional. Memperbincangkan profesi tanpa mengkaitkannya dengan persoalan etika bisa diibaratkan sebagai memperbincangkan pergaulan lelaki-perempuan tanpa mengkaitkannya dengan nilai moral sebuah perkawinan; atau memperbincangkan hubungan orang-tua (ayah/ibu) dengan anak-anak kandungnya tanpa mengindahkan nilai etika kesantunan, norma adat istiadat serta ajaran agama yang telah mengaturnya. Segala macam bentuk pelanggaran serta penyimpangan terhadap tata-pergaulan tersebut dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral (amoral), tidak etis dan lebih kasar lagi bisa dikatakan sebagai tindakan yang tidak beradab alias biadab. Istilah etik dan moral merupakan istilah-istilah yang bersifat mampu dipertukarkan satu dengan yang lain. Keduanya memiliki konotasi yang sama yaitu sebuah pengertian tentang salah dan benar , atau buruk dan baik. Dasar untuk menggambarkan perilaku yang menjunjung tinggi nilai etika dan moral bisa dinyatakan dalam pernyataan “do unto others as you would have them do unto you” (Bennett, 1996).
Pernyataan ini harus dipahami sebagai nilai-nilai tradisional yang meskipun terkesan sangat konservatif karena mengandung unsur nilai kejujuran (honesty), integritas dan konsern dengan hak serta kebutuhan orang lain; tetapi sangat tepat untuk dijadikan sebagai “juklak-juknis” didalam menilai dan mempertimbangkan persoalan etika profesi yang terkait dalam proses pengambilan keputusan profesional.
2.     Sikap terhadap anak didik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu : memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian : proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara mendidik. Ki Hajar Dewantara mengartikan pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Sebuah istilah yang menjadi slogan guru sebagai cerminan bagi anak didik ” guru kencing berdiri murid kencing berlari, memberikan pesan moral kepada guru agar bertindak dengan penuh pertimbangan. Ketika guru menanamkan nilai dan contoh karakter dan sifat yang tidak baik, maka jangan salahkan murid ketika berprilaku lebih dari apa yang guru lakukan. Seperti kelakuan bejat guru ketika membocorkan jawaban Ujian Nasional sebagai upaya menolong kelulusan anak didiknya. Memang murid pada saat itu senang, karena mendapatkan jawaban untuk mempermudah mereka lulus. Akan tetapi, saat itu juga guru telah menanamkan ketidakpercayaan murid terhadap guru. Dan pada saatnya nanti, mereka akan jauh berbuat lebih bejat lagi ketimbang saat ini yang guru mereka lakukan.
Dalam mendidik, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan berbuat serta mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Semua kendala yang terjadi dan dapat menjadi penghambat proses pendidikan baik yang berpangkal dari perilaku anak didik maupun yang bersumber dari luar diri anak didik harus dapat dihilangkan bukan dibiarkan. Keberhasilan dalam pendidikan lebih banyak sitentukan oleh guru dalam mengelola kelas. Dalam mengajar, guru harus pandai menggunakan pedekatan secara arif dsan bijaksana bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik.
Kalau dalam pengajaran yang diwarnai proses kekerasan sistemnya adalah satu arah, yaitu murid hanya menerima apa yang dikatakan oleh guru, maka dalam proses yang membebaskan/pengajaran yang membebaskan terjadi dalam dua arah. Guru belajar dari murid dan murid juga belajar dari guru. Guru dan murid adalah teman seperjalanan mencari yang benar, bernilai dan sahih (dapat dipertanggung jawabkan) dan yang saling memberikan kesempatan untuk berperan satu terhadap yang lain. Guru tidak perlu takut kalau murid lebih mengerti daripada dirinya dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan, karena justru dengan demikian mereka telah membebaskan murid dari perasaan takut dan memberikan kepada murid kebebasan untuk berkembang.
3.     Sikap terhadap Pekerjaan
Mengingat peranan strategis guru dalam setiap upaya peningkatan mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan, maka peningkatan profesionalisme guru merupakan kebutuhan. Benar bahwa mutu pendidikan bukan hanya ditentukan oleh guru, melainkan oleh mutu masukan (siswa), sarana manajemen, dan faktor-faktor eksternal lainnya. Akan tetapi seberapa banyak siswa mengalami kemajuan dalam belajarnya, banyak tergantung kepada kepiawaian guru dalam membelajarkan siswa.
Apa yang dimaksud dengan guru profesional paling tidak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.     mempunyai komitmen pada proses belajar siswa;
2.     menguasai secara mendalam materi pelajaran dan cara mengajarkannya;
3.     mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya;
4.     merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya yang memungkinkan mereka untuk selalu meningkatkan profesionalismenya.
Namun realitas menunjukkan bahwa kualitas guru belum sebagaimana yang diharapkan. Berbagai usaha yang serius dan sungguh-sungguh serta terencana harus secara terus menerus dilakukan dalam pengembangan kualitas guru. Sertifikasi guru, merupakan kebijakan yang sangat strategis, karena langkah dan tujuan melakukan sertifikasi guru untuk meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk meningkatkan kualitas pendidiakan di Indonesia. Sikap yang harus dibangun para guru dalam kompetensi dan sertifikasi ini adalah profesionalisme, kualitas, mengenal dan menekuni profesi keguruan, meningkatkan kualitas keguruan, mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru, kerasan dan bangga atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi keguruan.
Sertifikasi guru merupakan proses yang dapat mengangkat harkat dan wibawa guru. Namun, sertifikasi guru jangan sampai dipandang sebagai satu-satunya jalan yang menjamin kualitas guru. Sangat tidak tepat apabila pemerintah memaksakan program ini menjadi program yang ”instan”, sementara lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensi. Jika program ini dipaksakan secara ”instan”, maka sulit diharapkan sebuah perubahan yang signifikan akan terjadi pada wajah pendidikan di Indonesia.
Hal yang penting adalah membangun ”kesadaran” dan ”budaya” bahwa guru adalah ”ujung tombak”, memiliki peran yang besar, merupakan faktor penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, yang didukung dengan kesejahteraan guru yang layak dan memadai, sehingga mau tidak mau, senang tidak senang, guru harus meningkat diri dengan profesi yang ditekuninya. Dengan demikian, kata kuncinya semua kebijakan yang dilakukan untuk meningkat kualitas, kompetensi dan sertifikasi guru adalah ”by proses” dan bukan ”instan.
Sebagai sebuah profesi, guru memang sudah selayaknya bersertifikat pendidik. Dengan diperolehnya sertifikat pendidik, maka seorang guru berhak memperoleh tunjangan profesi yang besarnya setara dengan satu kali gaji pokok. Diharapkan dengan meningkatkan kesejahteraan guru ini akan diimbangi dengan peningkatan kinerja guru. Sebab para guru akan lebih terfokus pada tugas keprofesionalannya di satuan pendidikan/sekolahnya masing-masing dan tidak lagi menjadi “guru luar biasa” (biasa di luar).

Meskipun pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar SH MH menyatakan, bahwa pemberian sertifikasi bagi guru tak menjamin peningkatan mutu pendidikan nasional karena sertifikasi guru cederung pendekatan formalistis dan tidak menyentuh substansi masalah pendidikan di Indonesia (Republika Online, Jum`at, 16 Maret 2007, 16:27:00), tetapi paling tidak upaya pemerintah ini mampu menjadi semacam “penawar dahaga di kala haus” atau “setitik cahaya di tengah kegelapan”. Artinya, merupakan sebuah angin segar perubahan guna mengangkat citra, harkat dan martabat guru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar